Saya baru tahu ternyata pemahaman saya tentang COD yang merupakan singkatan dari Cash on Delivery itu sangat berbeda dengan pemahaman “milik” para pelaku usaha yang terlibat dalam penggunan model transaksi yang makin banyak dipakai dalam aktivitas belanja online.

Baru-baru ini tersebar video dimana seorang ibu marah-marah kepada kurir yang mengirimkan barang pesanan yang dibelinya secara online. Dari pembicaraan antara keduanya jelas tersirat kalau transaksi yang dilakukan pembeli menggunakan cara COD.

Nampak bahwa begitu paket diserahkan kurir, pembeli yang lansung membuka paketnya mendapati kalau ternyata barang yang ada di dalam paket itu tidak sesuai dengan barang yang dipesannya. Mungkin kebenarannya memang perlu diverifikasi, tapi sementara begitulah yang dikatakan pembeli.

Karena barang yang datang tidak sesuai dengan yang dipesannya, si pembeli ngotot tidak mau membayar dan menyuruh si kurir untuk membawanya kembali. Sementara si kurir ngotot menuntut pembayaran dan menolak untuk mengambil barang yang hendak dikembalikan si pembeli.

Argumen si kurir, karena barang sudah dibuka, maka si pembeli harus menerima barangnya dan membayar, atau mungkin lebih tepatnya maksudnya menitipkan uang pembayaran kepadanya. Kalau merasa barang yang datang tidak sesuai dengan apa yang dipesannya, si pembeli dipersilahkan untuk mengurusnya sendiri pada penjual melalui marketplace tempatnya memesan. Disitu si kurir menegaskan kalau dia hanya bersedia membawa kembali barang yang dikembalikan kalau bungkusan paketnya belum dibuka.

Argumen pembeli, dia menolak barangnya karena berbeda dengan yang dia pesan. Kalau sesuai dengan yang dia pesan, dia mau terima. Lha kalau nggak boleh dibuka, bagaimana bisa tahu kalau barang yang dikirim sesuai dengan apa yang dia pesan.

Memang tidak sepantasnya si pembeli kemudian marah-marah bahkan memaki-maki si kurir dengan kata-kata kasar.

Cuma sorotan saya bukan kesitunya.

Pengertian COD … Versi Saya

Pemahaman saya mengenai COD itu sama dengan pemahaman si pembeli dalam kasus tadi, si ibu yang marah-marah itu.

Saya memahaminya COD itu disediakan untuk meyakinkan pembeli agar bisa bertransaksi dengan lebih pede, bebas resiko. Jadi alih-alih melakukan pembayaran terlebih dahulu baru barangnya dikirim, dengan COD barangnya dikirim dulu. Setelah barangnya sampai, pembeli melihat barangnya OK, dia bayar kepada si kurir yang mengantarkan.

Kalau tidak sesuai? Tinggal suruh kurirnya bawa balik lagi. Bayar? Ngapain bayar kalo barangnyapun nggak diterima?

Melihat video perdebatan antara pembeli dan kurir seperti saya sebut di awal tadi, saya bahkan sempat melempar komentar kalau si kurir itu ngawur. Nggak mau susah.

Kebenaran Milik Mereka

Tapi ada penjelasan lain, atau kalau saya sih melihatnya bukan sebagai penjelasan tapi argumen, pembenaran. Diberitakan detik.com, Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo), Mohammad Feriadi, mengatakan bahwa dalam skema COD, tugas kurir hanya mengantar barang dan menerima pembayaran.

“Masalah kualitas barang seperti apa bukan urusan kurir”, kilahnya. “Kurir hanya mengantar barang yang dibeli, artinya kurir tentu tidak mengetahui barang itu cocok dengan yang dilihat pembeli atau berbeda”, lanjutnya. Bahkan dia kemudian menambahkan “Seringkali masyarakat mengira kurir tahu isi barangnya, tapi itu bukan ranah kurir”.

Kalimat-kalimat dia itu di telinga saya terdengar seperti argumen debat kusir. Orang bego juga tahu kalo kesesuaian antara barang yang dikirim dan barang yang dipesan bahkan kualitas barang memang bukan urusan kurir. Bahkan kalaupun bungkusan paket yang dibawanya ternyata nggak ada isinya alias kosong atau hanya jejalan gumpalan koran bekas sekalipun ai kurir mana tau.

Pembelipun toh tidak mungkin cukup bodoh untuk menuntut pertanggungjawaban dari.si kurir atau perusahaan jasa pengiriman tempatnya bekerja. Pembeli hanya meginginkan kurir bekerja sesuai fungsinya, ngirim. Ini barang gak bener tolong kirim balik. Itu saja. Urusan pertanggungjawaban atas barang ya jelas urusan penjual. Jangankan kurir, marketplace tempat belanjanya saja nggak perlu ikut-ikutan bertanggung jawab. Entah ganti barang, balikin duit, ya urusan si penjual.

Bahkan pada berita lain yang juga dilansir detik.com disebutkan bahwa aturan main COD itu bayar dulu baru boleh buka paket.

Yang ngomong siapa? Orang yang sama lah. Mau-maunya dia.

Jadi COD Cuma Iming-Iming Belaka?

Sekarang kalau memang terima karung dalam kucing, harus dibayar dulu baru paket boleh dibuka, kalau ada masalah urus sendiri jangan dibalikin ke kurirnya, lalu apa bedanya sama transaksi biasa? Bayar duluan dengan transfer atau metode lain yang banyak tersedia itu baru barang dikirim?

Lalu buat apa ada pilihan COD? Iming-iming doang biar orang pede padahal kenyataannya sama aja?

Ketua asosiasi juragannya kurir ya jelas lah mau-maunya dia gak susah-susah. Cuman logikanya dimana?

Argumen dia, opsi COD itu disediakan bagi mereka yang tidak bisa melakukan pembayaran dengan transfer. Kan nggak semua orang punya rekening.

Helooow …

Bisnis modern memfasilitasi pengiriman untuk transaksi belanja online tapi mikirnya koq kayak 20 tahun lalu aja bilang banyak orang gak punya rekening. Dikira ada orang punya smartphone atau komputer buat belanja online tapi gak punya rekening?

Pergi ke kantor pos aja pake wesel!

Lagian kalopun beneran gak punya rekening, ada opsi lain koq. Bayar aja lewat Indomaret ato Alfamaret.

Bapak itu apa belum tahu ya?

Lagian apa tujuan penjual, marketplace, menyediakan opsi COD kan urusan mereka, bukan urusan kurir.