Baru hitungan minggu menduduki jabatan barunya, Bu Risma sudah menyedot perhatian publik. Jagat maya riuh dengan komentar atas pemberitaan mengenai hal-hal yang dilakukannya. Kebanyakan positif meskipun ada juga yang sebaliknya. Sementara banyak orang mengenal pejabat yang digantikannya baru setelah dia terpaksa mengakhiri jabatan yang diembannya selama lebih dari setahun. Berapa banyak sih yang “ngeh” dengan sosok Juliari Batubara sebelum dia dengan menyandang jabatan menteri diciduk KPK?
Tepatnya tanggal 23 Desember 2020 lalu, Presiden Jokowi mengumumkan penujukkan Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial dalam kabinet yang dipimpinnya dalam reshuffle yang membuat empat menteri lain selain dua yang ditangkap KPK tersingkir. Kita semua pasti masih ingat, seminggu sebelum menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara, KPK juga menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Apa yang membuat perhatian masyarakat langsung tertuju pada Bu Risma padahal dia hanya satu dari enam menteri baru yang ditunjuk Presiden Jokowi dalam reshuffle itu?
Portal-portal berita ramai memberitakan aksi blusukan yang disebutkan dilakukan Bu Risma secara maraton. Begitu Kementerian Sosial menggelar acara serah terima jabatan, selama beberapa hari berturut-turut, hampir setiap hari Bu Risma diberitakan mengunjungi orang-orang miskin di beberapa titik lokasi di Jakarta.
Apa Sih Blusukan?
Istilah blusukan ini bisa dibilang identik dengan sosok Presiden Jokowi. Istilah yang satu ini memang tiba-tiba jadi begitu sering terdengar saat beliau menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta. Sebagai pemimpin Ibu Kota, Gubernur Jokowi memang sangat rajin blusukan. Ritual yang kemudian dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan wakil yang kemudian menggantikan posisi Gubernur Jokowi, lalu dilanjutkan lagi oleh Djarot Syaiful Hidayat, mantan wakil yang kemudian menggantikan Gubernur Ahok.
Sayang aktivitas yang diapresiasi banyak fihak ini seolah-olah terhenti saat Anies Baswedan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta lewat sebuah kontestasi yang diwarnai dengan dijebloskannya Ahok ke balik jeruji penjara.
Terus arti blusukan itu apa?
Sampai lupa gara-gara kejauhan ngelantur. Dalam pemahaman umum yang saya miliki, blusukan adalah aktivitas seorang kepala daerah mengunjungi titik-titik di wilayah yang dipimpinnya untuk mengetahui situasi dan kondisi di lapangan dengan melihat dengan mata kepalanya sendiri dan mendengar langsung dari lapisan terbawah masyarakat yang dipimpinnya dengan telinganya sendiri.
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat diakses secara daring disini menyebut arti blusukan adalah “masuk ke suatu tempat dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu“.
Saya kira wajar saja kalau apa yang dilakukan Bu Risma dalam jabatan barunya ini menuai perhatian publik.
Kesuksesannya mengubah waja Kota Surabaya yang dipimpinnya sebagai Walikota selama dua periode memang fenomenal. Kesuksesan itulah yang membuatnya sudah cukup lama menjadi seorang “media darling” yang hampir setiap tindakannya menarik perhatian publik. Penghormatan dan kecintaan terhadapnya tidak hanya datang dari masyarakat Kota Surabaya yang dipimpinnya tapi juga dari seluruh Indonesia, bahkan dari lembaga-lembaga Internasional.
Melalui berita pula kita mengetahui kalau blusukan menjadi salah satu komponen dari formula kesuksesannya. Saat menjadi Walikota Surabaya, konon hanya beberapa jam saja dalam sehari Bu Risma berada di kantornya. Bagian besar dari waktu yang dimilikinya dihabiskan di lapangan, blusukan.
Nah kalau blusukan sepertinya sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja dilakukan para pejabat apalagi para kepala daerah, lalu kenapa blusukan Bu Risma di Jakarta dalan jabatannya sebagai Menteri Sosial jadi ramai menuai pro dan kontra?
Blusukan Sudah Punah
Mari kita mundur sejenak ke “sejarah” meroketnya popularitas blusukan. Blusukan itu identik dengan dua hal. Jokowi dan Jakarta. Jadi Bu Risma sebagai Walikota keluar masuk kampung di Surabaya itu tidak terasa sebagai blusukan. Bahkan Pak Jokowi yang dulu sehari-haru blusukan di kotanya saat menjadi Walikota Solo juga tidak terasa sebagai blusukan.
Blusukan sudah punah.
Pak Jokowi sudah bukan Gubernur DKI lagi, demikian juga para Gubernur DKI Jakarta penerus tradisi blusukannya, Koh Ahok dan Pak Djarot. Gubernur DKI Jakarta yang sekarang hampir tidak pernah diberitakan blusukan. Beliau lebih sering ngendon di kantornya yang nyaman dengan hamparan pemandangan Monas sambil sekali-sekali tampil di depan publik memamerkan keterampilannya merangkai kata-kata menjadi kalimat indah berbunga-bunga.
Jadi ketika tiba-tiba muncul sosok dengan jabatan yang secara struktural bahkan lebih tinggi dari Gubernur blusukan di Jakarta, kita terperangah seperti melihat dinosaurus, sesuatu yang sudah punah tiba-tiba muncul lagi, hidup lagi.
Gimana nggak kaget?
Menteri Tidak Blusukan
Kepala daerah memang berada di satu wilayah tertentu untuk memimpin. Sementara menteri berkantor di Ibu Kota Negara untuk melaksanakan program-program di sektor tertentu yang mencakup seluruh wilayah tanah air. Cakupan wilayahnya yang demikian luas memang membuat hampir tidak mungkin untuk bekerja secaca efektif dengan menggunakan instrumen blusukan. Para menteri umumnya mengeksekusi program dan memantau hasilnya melalui para kepala daerah.
Kalaupun menteri sekali-sekali berkunjung ke daerah, biasanya labelnya kunjungan kerja, bukan blusukan.
Menteri tidak blusukan.
Jadi tidak mengherankan kalau saat mendengar berita ada seorang menteri blusukan, ada dua hal yang kemudian terasa aneh dan menjadi argumen mereka yang kontra dengan blusukan Bu Risma di Jakarta.
Pertama karena cakupan kerja seorang menteri meliputi seluruh Indonesia, blusukan memunculkan banyak pertanyaan. Terus bagaimana dengan tempat-tempat lain selain DKI Jakarta? Kalau wilayah lain tidak kebagian diblusukani nggak adil dong? Kalau blusukan terus ke semua wilayah di seluruh Indonesia ya habis waktunya, kapan kerjanya? Dan sebagainya. Dan seterusnya.
Kedua dengan kedudukannya di tingkat pusat, seorang menteri tidak “memiliki” wilayah. Kalau menteri blusukan rasanya seperti menerobos masuk ke “wilayah kekuasaan” orang lain. Ada protokolnya. Kalau menteri mau berkunjung ke suatu tempat di daerah tertentu, harus berkoordinasi dengan kepala daerahnya. Gubernurnya, Bupatinya, Camatnya, Kepala Desanya, semua harus “dikulonuwuni”.
Para kepala daerah dari berbagai tingkatan itu tentu tidak akan menolak, tapi pasti “mempersiapkan”. Sementara kalau sudah dipersiapkan terlebih dahulu, apalah lagi artinya blusukan?
Blusukan Bikin Baper
Tapi yang membuat perdebatan antara yang pro dan kontra dengan blusukan Bu Risma di Jakarta yang sangat terasa di dunia maya ini adalah soal rivalitas memperebutkan kursi jabatan.
Saya sendiri sangat yakin kalau Bu Risma bukan tipikal orang yang berambisi mengejar jabatan. Tapi kenyataannya memang nama beliau sudah cukup lama digadang-gadang untuk menggantikan Anies Baswedan. Di sisi lain prestasinya dalam memimpin Kota Surabaya membuat dirinya bukan hanya sekedar bakal calon yang digadang-gadang sejumlah kalangan tapi bisa dikatakan sebagai salah satu kuda hitam.
Sementara sebagai Gubernur DKI Jakarta yang saat ini sedang menjabat, Anies Baswedan baru menjabat satu periode dan diyakini punya keinginan kuat untuk maju lagi untuk periode kedua. Sialnya banyak yang meyakini, termasuk saya, kalau prestasi kerja Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta sangat buruk. Bukan hanya tidak layak untuk dipilih satu periode lagi, kalau bisa sih berhentikan saja sekarang.
Bukan hanya mengganjal jalan Anies Baswedan untuk mengamankan periode kedua di kursi DKI 1, Bu Risma juga diyakini bisa memupus jalan yang dibangun Anies Baswedan dan pendukung-pendukungnya untuk menggantikan Presiden Jokowi yang masa jabatan keduanya akan berakhir pada tahun 2024 mendatang.
Nyinyir Karena Baper
Banyak orang, termasuk mereka yang menduduki jabatan penting entah itu di pemerintahan maupun di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, menuduh blusukan Bu Risma di Jakarta itu sebagai pencitraan untuk melicinkan jalannya merebut DKI 1. Ada juga yang menyebut sebagai upaya merusak citra Anies Baswedan untuk menggagalkan perjalanannya menuju Pilpres 2024.
Kebaperan akibat blusukan Bu Risma di Jakarta ini bukan hanya melanda pendukung Anies Baswedan di berbagai strata, rakyat jelata maupun petinggi partai politik, tapi juga menghinggapi Anies Baswedan sendiri. Demikian hebatnya kebaperan Anies Baswedan sampai-sampai dia tidak dapat menahan diri untuk membiarkan kenyinyiran menjadi domain para pendukungnya sementara dia tetap menjaga citranya sebagai sosok pemimpin yang elegan dan selalu berfikir dan bersikap positif.
Anies Baswedan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kubangan kenyinyiran.
Dilansir sebuah media online, saat mengunjungi sebuah rumah sakit di Jakarta yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan, dia mengatakan kalau sebelum berkunjung, atas nama adab dan etika, fihaknya sudah terlebih dahulu berhalo-halo dengan Kementerian Kesehatan.
Tidak perlu seorang filsuf untuk memahami kalau tujuan ucapannya adalah “nyenggol” Bu Risma yang blusukan ke wilayah DKI Jakarta tanpa mengetuk pintu Balai Kota terlebih dahulu.
Di sisi lain sejumlah pejabat Pemda DKI juga memilih untuk melontarkan komentar-komentar yang sangat jelas terdengar sebagai upaya mematahkan temuan Bu Risma.
Misalnya saat Bu Risma menghampiri dan kemudian mangani tuna wisma yang ditemukannya di kawasan paling “elite” di Jakarta, bukannya mikir Wakil Gubernur DKI malah mengatakan kalau dia sejak kecil hidup di Jakarta dan tidak pernah melihat ada tuna wisma di sepanjang jalur Sudirman – Thamrin.
Mungkin dia merasa dengan ucapannya itu dia bisa menghapus coreng di muka Pemda DKI. Tapi untuk mereka yang punya akal sehat, justru sebaliknya, menggosok goresan arang yang mencoreng muka sehingga seluruh mula jadi hitam.
Anti Klimaks
Lucunya kebaperan berjamaah ini seakan berakhir anti-klimaks saat Bu Risma sendiri menyatakan kalau dia tidak blusukan.
Dijelaskannya sebagai orang baru di Jakarta, dia ingin mengenal kota tempat tinggal barunya. Salah satu cara sederhana yang dilakukannya adalah dengan menyuruh sopir menggunakan rute berbeda setiap pagi saat mengantarnya dari rumah ke kantor.
Dalam perjalanan sehari-hari dari rumah ke kantor itulah dia melihat orang yang dirasanya perlu dia tolong sehingga dia spontan berhenti, menghampiri, mengajak berdialog, dan menawarkan pertolongan.
Harapan Baru
Salut untuk Bu Risma.
Ibu layak jadi DKI 1 bahkan RI 1. Semoga entah hanya masyarakat Kota Jakarta atau seluruh rakyat Indonesia berkesempatan menggapai kehidupan yang lebih baik di bawah kepemimpinan Ibu.
Semoga.