Tergusurnya politisi Partai Gerindra Edhy Prabowo dari jabatan Menteri KKP akibat terjaring operasi KPK membuat publik berharap pejabat lama, Susi Pujiastuti, ditarik kembali untuk mengisi kursi yang pernah ditinggalkannya itu. Sayangnya seeprtinya itu hanya sekedar harapan yang tidak akan menjadi kenyataan.
Saya termasuk salah satu yang kecewa berat saat sosok pengusaha nyentrik Susi Pujiastuti tidak disebut saat Presiden Jokowi mengumumkan jajaran menteri untuk membantunya dalam masa pemerintahan keduanya. Saya lebih kecewa lagi saat beliau mengumumkan nama penggantinya. Saya tidak melihat kalau Edhy Prabowo punya background yang kuat di bidang itu. Sehingga nuansa transaksionalnya terlalu kental.
Alasan lain? Rasanya tidak ada. Bahkan kalau soal korupsi, saya justru melihat Edhy Prabowo cukup oke. Kesan yang saya tangkap dengan memperhatikan sepak terjangnya mendampingi Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Edhy Prabowo ini sosok loyal, pekerja keras, dan nggak banyak mulut. Dalam pandangan pribadi saya, bertolak belakang lah sama kebanyakan tokoh-tokoh Partai Gerindra, apalagi Fadli Zon.
Kalau harus memberikan dua kursi menteri kepada Partai Gerindra, entah atas nama rekonsiliasi atau bahkan dengan alasan transaksi politikpun, saya pikir Presiden Jokowi sudah mendapat orang yang paling tepat. Kalau ada petinggi Partai Gerindra yang paling saya yakini bisa loyal pada Presiden Jokowi selain Prabowo Subianto, Edhy Prabowo lah orangnya. Hanya saja kalau posisi Prabowo Subianto terasa pas, posisi Edhy Prabowo cerita yang sangat berbeda.
Buat saya, penunjukkan Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP itu sebelas dua belas dengan penunjukkan Johnny G. Plate sebagai Menkominfo.
Tapi ya sudahlah. Itu pilihan Presiden Jokowi, kita bisa apa?
Tidak ada yang istimewa di awal-awal Edhy Prabowo memimpin. Tidak langsung menghentak seperti saat awal Bu Susi menjabat. Tapi saya masih menganggapnya seperti perjalanan rookie Alex Marquez yang jauh berbeda dari sang kakak, Marc Marquez, di ajang adu kebut MotoGP. Telat panas. Sesuatu yang sangat wajar jika membandingkan perbedaan latar belakang antara Edhy Prabowo dan Bu Susi yang memang lahir dan besar di sekitar laut dan ikan.
Tapi saat dia mulai bicara dan bergerak, Edhy Prabowo ini memang nampak aneh. Dari sekian banyak menteri, mana menteri yang membuat pernyataan-pernyataan yang menilai negatif kebijakan-kebijakan pendahulunya? Rasanya cuma Edhy Prabowo satu-satunya. Selain dikritik, kebijakan-kebijakan Bu Susi juga tidak dia lanjutkan. Ada penangkapan dan penenggelaman kapal pencuri ikan di masa kepemimpinannya? Pastinya bukan karena nggak ada maling ikan lah.
Saat Edhy Prabowo tidak lagi manghukum para maling ikan dengan penenggelaman kapalnya, lalu dia mencabut larangan penggunaan cantrang, saya masih berfikir kalau dasarnya hanya kurang pengalaman dan penguasaan pada bidang yang menjadi kewenangannya. Tapi saat dia mencabut batasan ukuran kapal disusul pencabutan larangan ekspor benih lobster, saya mulai yakin kalau ada yang nggak beres.
Jadi saat KPK menangkap Edhy Prabowo, saya nggak kaget-kaget amat. Bau permainanya sudah sangat menyengat. Kalau ada “wow-factor” pada kasus itu, buat aaya justru terletak pada KPK-nya. Pertama sejak gonjang-ganjing perubahan UU KPK dan pergantian kepemimpinan ke tangan Firli Bahuri cs, KPK terasa kehilangan gregetnya. Bahkan lembaga penegakan hukum lain yang performa buruknya di masa lalu menjadi salah satu alasan dibentuknya KPK terlihat lebih moncer.
Tiba-tiba saja KPK menggebrak dengan kasus kakap. Semoga menjadi awal gaspol untuk KPK.
Edhy Prabowo Salah
Meskipun prinsip penegakan hukum di Indonesia mengedepankan azas praduga tak bersalah sehingga Edhy Prabowo berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai hakim menjatuhkan vonis sebaliknya, saya sih nggak ada keraguan, sangat yakin dia memang bersalah. Kenapa? Ya karena indikasinya terlalu kuat.
Pertama itu tadi, bau permainannya memang sangat menyengat. Kedua, siapa sih yang lolos dari jerat KPK? Ketiga, setelah statusnya naik menjadi tersangka, Edhy Prabowo langsung menyampaikan permintaan maaf. “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Presiden Jokowi karena telah mengkhianati kepercayaannya”, ucapnya seperti dikutip banyak media berita. Implisit artinya Edhy Prabowo mengakui kesalahannya. Permintaan maaf serupa juga dilayangkan Partai Gerindra kepada Presiden Jokowi, karena kader yang diusungnya untuk masuk kabinet Presiden Jokowi melakukan tindakan memalukan itu.
Sikap (Agak) Ksatria
Bagaimanapun juga korupsi adalah kejahatan. Bahkan dalam tatanan hukum Indonesia masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa. Kalau maling mencuri dari orang yang mungkin sama sekali tidak dia kenal, koruptor mencuri dari orang-orang yanh memberi mereka kepercayaan untuk menjaga. Menteri korupsi, dalam kasus Edhy Prabowo menerima suap, rasanya seperti pembantu yang sengaja membukakan pintu untuk maling yang menggasak rumah majikannya, lalu untuk “jasa”-nya itu dia mendapatkan sedikit bagian.
Meskipun begitu Edhy Prabowo menunjukkan sikap lebih ksatria dari kebanyakan koruptor lain. Lihat kasus Akil Mochtar, Anas Urbaningrum, Romahurmuzzy, atau yang terbaru sekarang, para jenderal polisi yang disuap buronan kakap Djoko Chandra. Mereka berkelit-kelit. Boro-boro ngaku malah berusaha mengkambinghitamkan orang lain. Jangankan dalam pemeriksaan polisi, ada yang keputusannya sudah final di tingkat pengadilan tertinggi sekalipun mereka masih sok bersih.
Edhy Prabowo irit bicara setelah ditangkap KPK. Kata-katanya yang sedikit itu alih-alih dia pakai untuk berkelit, membela diri, mencari kambing hitam, justru dia pakai untuk meminta maaf dan menyatakan siap bertanggung jawab.
Akankah Bu Susi Kembali
Akibat kasus yang melilitnya itu, Edhy Prabowo langsung menyatakan mengundurkan diri. Dia meninggalkan pucuk pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang baru diambilalihnya dari Susi Pujiastuti, pengusaha nyentrik yang memiliki banyak dukungan publik. Linimasa portal-portal media sosial sekarang ramai dengan pernyataan masyarakat yang menginkan Bu Susi kembali menduduki jabatan itu.
Sebetulnya saya sendiri termasuk dalam kelompok yang berharap Presiden Jokowi kembali menyerahkan kursi Menteri KKP kepada Bu Susi. Tetapi realitas politik yang ada sekarang rasa-rasanya tidak memungkinkan itu terjadi. Memang tidak ada yang mustahil kalau Tuhan menginginkannya. Tapi secara logika, kalaupun kemungkinan itu ada, rasanya hanya beberapa persen saja. Lagian sekarang bukan jamannya mukjizat. Bahkan saat Tuhan mengabulkan doa kitapun biasanya terjadinya tidak dengan cara yang diluar nalar.
Ada beberapa alasan yang membuat saya berfikir begitu.
Pertama. Kalau Presiden Jokowi menginginkan Bu Susi membantunya sebagai Menteri KKP, sudah dari saat pertama kabinet dibentuk kursi itu diberikan kepadanya. Kalaupun Presiden Jokowi harus mengakomodasi Partai Gerindra dengan memberikannya dua kursi menteri, dia bisa memberikan kursi menteri lain. Toh latar belakang Edhy Prabowo juga tidak benar-benar relevan dengan bidang kementerian yang dipegangnya itu.
Bisa jadi karena friksi antara Bu Susi dan menteri segala menteri, Luhut Panjaitan, yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Menko yang mengkoordinir kerja Kementerian KKP. Sangat jelas kalau Luhut Panjaitan adalah tangan kanan Presiden Jokowi. Sangat jelas kalau antara Luhut Panjaitan dan Bu Susi nggak benar-benar nyetel. Sangat jelas kalau Presiden Jokowi harus memilih antara Luhut Panjaitan atau Bu Susi, Presiden Jokowi lebih memilih Luhut Panjaitan. Sudah pernah terjadi itu saat pembentukan kabinet pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi.
Sampai sekarangpun friksi antara Luhut Panjaitan dan Bu Susi masih tetap ada. Lihat saja, setelah ditunjuk menjadi Menteri KKP ad-interim, Luhut Panjaitan mebyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan ekspor benih lobster. Sesuatu yang di mata Bu Sisi salah besar.
Kedua. Meskipun memilih menteri adalah hak prerogatif presiden dan Menteri KKP yang diajukan oleh Partai Gerindra terbukti berperilaku buruk, fatsun politiknya Presiden Jokowi harus “meminta” penggantinya dari partai yang sama. Apalagi Partai Gerindera sudah langsung menunjukkan sikap “kooperatif” dengan memyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Jokowi atas tindakan Edhy Prabowo.
Kalaupun tidak ada calon pengganti yang nantinya diajukan Partai Gerindra yang dinilai Presiden Jokowi cocok dengan bidang penugasan Menteri KKP, paling banter akan terjadi reshuffle kecil, pertukaran kursi menteri.